Kerjasama Negara Indonesia dengan Negara Lain
Kerjasama
Indonesia-Australia
Pemerintah Australia dan Indonesia hari Senin menandatangani proyek kerjasama
untuk mencegah masalah perdagangan manusia di kawasan Asia Tenggara.
Proyek ini menitikberatkan pemberian bantuan pada aparat hukum Indonesia dalam
menangani kejahatan perdagangan manusia.
Menurut Kepolisian Indonesia, program kerasama ini penting karena masalah
perdagangan manusia tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu negara.
Indonesia adalah negara ke 5 yang terlibat dalam program kerjasama memerangi
masalah perdagangan manusia yang dipelopori pemerintah Australia, setelah
Malaysia, Kamboja, Laos dan Birma.
Program yang disiapkan untuk kawasan Asia ini rencananya akan berlangsung
selama 5 tahun ke depan.
Manfaat Kerjasama
Kepala Badan Reskrim Polri Komisaris Jendral Polisi Bambang Hendarso, yang
bertanggungjawab dalam menangani kasus perdagangan manusia lintas batas,
menjelaskan dalam menanggulangi penyelundupan manusia yang modus operandinya
memiliki kesamaan antar satu negara dengan negara lain, apabila tidak ada
kerjasama dalam rangka pencegahan akang mengalami kendala.
Oleh sebab itu memalui pelatihan bersama akan ada manfaatnya, katanya.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer mengatakan, kerjasama
regional ini adalah bentuk komitmen untuk memerangi perdagangan manusia di
kawasan Asia.
Pejabat Australia yang ikut menandatangani kerjasama ini, Phillipe Allen,
mengatakan program senilai Rp 160 milyar ni akan difokuskan kepada bantuan
teknis.
Phillipe Allen mengatakan, program ini dilakukan dalam bentuk kerjasama
pelatihan bagi para jaksa, hakim, atau polisi yang bertugas dalam menangani
kasus perdagangan manusia.
Menurutnya Indonesia akan merasakan manfaat dari kerjasama seperti itu.
Masalah perdagangan manusia menjadi isu penting Australia, setelah mereka
dibanjiri kehadiran imigran gelap dari Irak dan Afganistan yang menjadikan
Indonesia sebagai basis transitnya, sebelum mereka menuju negara tujuan
Australia.
Kerjasama Indonesia – Thailand
Pemerintah Indonesia dan Thailand sepakat meningkatkan kerja sama di bidang
pertanian, terutama alih teknologi informasi dan teknologi, perdagangan, pelatihan,
teknik dan penelitian dalam bidang pertanian. Kesepakatan itu dituangkan dalam
MoU yang ditandatangi oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Menteri
Pertanian dan Koperasi Thailand, Khunying Sudarat Keyuprahan, Jumat siang.
Penandatangan yang dilakukan di Ruang Purple di Thai Koo Fah Building (gedung
pemerintahan Thailand) di Bangkok, disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan PM Thailand Thaksin Shinawatra. Menurut informasi Departemen
Pertanian, bentuk kerja sama yang akan dilaksanakan menurut isi nota
kesepahaman itu antara lain menyangkut promosi perdagangan komoditi pertanian;
pengelolaan dan perlindungan keragaman hayati pertanian; pengembangan dan
penyuluhan pertanian; kerja sama teknik dan peningkatan SDM; serta pengelolaan
dan perlindungan lahan-lahan pertanian dan air. Untuk mendukung pencapaian
kerja sama, kedua pihak sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Pertanian
Bersama (JAWG), yang diketuai oleh seorang pejabat tinggi dari masing-masing
negara.
Tugas utama JAWG itu adalah menyampaikan masukan mengenai pengembangan dan
perbaikan kerjasama, memonitor dan mengevaluasi seluruh kegiatan, serta membuat
rekomendasi penanganan permasalahan yang timbul dari pelaksanaan MoU tersebut.
MoU yang ditandantangani menteri pertanian Indonesia dan Thailand itu merupakan
tindak lanjut dari kesepakatan yang dibuat oleh kedua negara dalam bidang
kerjasama ekonomi dan teknik (Agreement on Economic and Technical Cooperation)
yang ditandatangani pada 18 Januari 1992 di Bangkok. MoU juga merupakan tindak
lanjut dari kesepakatan bidang pertanian (Agreement on Agricultural
Cooperation) yang ditandatangani dan diamandemen di Jakarta pada 22 Februari
1984 dan 23 April 1996. Sebelumnya pada Jumat pagi Presiden Yudhoyono dan PM
Thaksin melakukan pertemuan empat mata, yang dilanjutkan dengan pertemuan
bilateral.
Delegasi yang dipimpin Presiden dalam pertemuan bilateral itu antara lain
terdiri dari Menko Perekonomian Boediono, Menlu Hassan Wirajuda, Menteri
Pertanian Anton Apriyantono, Menneg BUMN Soegiharto, Sekretaris Kabinet Sudi
Silalahi, Ketua Umum Kadin M.S. Hidayat, anggota DPR Ade Nasution dan Tristanti
Mitayani, anggota DPD Edwin Kawilarang, serta Dirjen Asia Pasifik dan
Afrik-Deplu, Herijanto Soeprapto.
Kerjasama Indonesia – Malaysia
Indonesia dan Malaysia memandang perlunya peningkatan kerjasama di bidang
perdagangan, investasi dan energi, termasuk kerjasama sub regional melibatkan
kerjasama dalam kerangka segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura dan
Indonesia-Malaysia-Thailand (IMS dan IMT-GT).
Di masa datang, kerjasama bidang perdagangan, investasi dan energi diharapkan
bisa lebih berkembang lagi sekaligus meningkatkan perekonomian kedua negara
serta membuka lapangan kerja yang memang dibutuhkan untuk mengurangi
pengangguran yang terus meningkat dewasa ini. kedua pemimpin negara sepakat
tidak hanya dilakukan antara Pertamina dengan Petronas saja, tetapi juga di
bidang kelapa sawit untuk kepentingan minyak sawit (CPO) maupun pengembangan
sumber energi dari kepala sawit (bio-energy).
Dalam konteks investasi Indonesia akan terus mengembangkan iklim investasi yang
lebih baik menyangkut kepastian hukum, kebijakan ekonomi yang lebih kondusif
bagi investasi termasuk kebijakan tenaga kerja, sehingga investasi bisa
berjalan dengan baik.
Kerjasama Sosial
Di bidang sosial dan kesejahteraan, kedua pemimpin negara juga bersepakat terus
menggalang kerjasama khususnya di bidang ketenagakerjaan. kedua negara sepakat
untuk melakukan pengelolaan secara lebih baik lagi melalui kebijakan dan
langkah-langkah kerjasama di bidang ketenagakerjaan tersebut.
Kerjasama itu sendiri, untuk selanjutnya akan ditindaklanjuti di tingkat
menteri dan organisasi-organisasi pemerintahan termasuk diantara kalangan dunia
usaha baik swasta maupun milik
negara. Kedua belah pihak, menurut dia, telah menunjukkan kesungguhan untuk
menindaklanjuti kesepakatan yang telah terbentuk, baik antara dua pemerintahan
maupun antara kalangan dunia usaha.
Kerjasama Militer Indonesia-Amerika Serikat
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat menerima
kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld, meminta dan
berharap agar normalisasi hubungan militer Indonesia-AS yang sudah berjalan
penuh dapat berlangsung permanen.
Harapan ini bisa dipahami mengingat, pertama, hubungan kerja sama bidang
pertahanan kedua negara memang dinamis. Kecenderungan ini bisa dilihat dari
pengalaman, saat Presiden Soekarno menyatakan perang dengan Belanda untuk
pembebasan Irian Barat, AS tidak memenuhi permintaan Indonesia. Penolakan ini
disebabkan sikap politik AS lebih berpihak ke Belanda sebagai bagian dari NATO.
Tahun 1970 sampai 1980-an peralatan persenjataan AS mulai masuk Indonesia.
Namun, karena kerusuhan Dili, November 1991, AS mengeluarkan kebijakan
menghentikan pasokan alat pertahanan ke Indonesia. Kebijakan ini diperkuat
kebijakan embargo militer AS terhadap Indonesia pasca jajak pendapat Timor
Timur tahun 1999.
Pada tahun 2001, meski embargo militer AS belum dicabut, hubungan militer
Indonesia-AS sempat membaik. Ini terlihat dari komitmen George W Bush
mengeluarkan dana segar 400 juta dollar AS untuk mendukung pendidikan
masyarakat sipil Indonesia di bidang pertahanan melalui kegiatan perluasan
pelatihan dan pendidikan militer internasional (expanded international military
education and training).
Kedua, AS perlahan-lahan mendominasi pasokan alutsista ke Indonesia. Memang,
pasca kemerdekaan, Indonesia lebih banyak memakai peralatan dari Belanda, lalu
Frigat dari Rusia mulai masuk. Memasuki tahun 1970-an, alutsista dari AS masuk
dan mendominasi peralatan persenjataan Indonesia. Meski Perancis, Korea
Selatan, Australia, dan Belanda tetap menjadi langganan. Pasokan AS terlihat
dari F-5E/F Tiger II dan Bronco. Dominasi AS terus berlanjut dengan masuknya
F-16 Fighting Falcon akhir 1989.
Ketiga, kerja sama peralatan persenjataan dalam faktanya lebih banyak
ditentukan dinamika hubungan politik luar negeri suatu negara, termasuk anatara
Indonesia dan AS. Masuknya peralatan Rusia pada 1960-an banyak dipengaruhi
sikap politik Presiden Soekarno yang cenderung konfrontatif dengan AS dan lebih
dekat dengan Rusia dan China.
Ketika AS menutup alutsista ke Indonesia tahun 1990-an, Indonesia mendatangkan
pesawat Sukhoi MK-30 dan helikopter M1-17 dari Rusia. Bahkan, Indonesia
mendapatkan kemudahan dari Pemerintah Rusia dengan tidak membeli pesawat satu
skuadron (seharusnya pembelian pesawat satu skuadron).
Upaya melakukan perubahan kerja sama militer dengan AS merupakan langkah
strategis. Pasca berakhirnya Perang Dingin, AS menjadi kekuatan militer utama
yang belum tertandingi. Namun, upaya normalisasi itu tetap harus disikapi
dengan kritis mengingat hubungan militer dengan AS tidak boleh mengganggu
independensi sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sudah
bukan rahasia lagi, hubungan AS dengan negara lain penuh kepentingan dan
konsesi.
No comments:
Post a Comment