Keutamaan Puasa Sunah Arafah
Puasa sebelum Idul Adha disebut juga dengan puasa Arafah. Karena
dilakukan pada saat jutaan jemaah haji berkumpul melaksanakan wukuf di padang
Arafah. Wukuf sendiri merupakan ibadah wajib karena merupakan bagian dari rukun
haji yang harus dipenuhi para jama’ah haji.
Wukuf di Arafah yang merupakan puncak penyempurnaan ibadah haji
dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender Islam. Pada saat
inilah umat muslim yang tidak melaksanakan wukuf dianjurkan untuk berpuasa,
termasuk kita yang berada di tanah air.
Hadits puasa Arafah
Puasa sebelum idul adha adalah ibadah yang sangat dianjukan oleh
Rasulullah Saw. Bagi kaum muslimin puasa satu hari sebelum lebaran haji ini,
hukumnya sunnah muakkad. Artinya, meskipun puasa sebelum hari raya qurban ini
bersifat sunnah, namun demikian sangat-sangat dianjurkan dan diutamakan untuk
dilaksanakan.
Bagi mereka yang menunaikan ibadah puasa Arafah akan didoakan
Nabi Muhammad Saw agar Allah menghapus dosa-dosanya selama dua tahun, yakni;
satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw
yang artinya: Puasa satu hari Arafah, aku berharap kepada Allah, Dia akan
menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari
‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan
menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu
Qatadah).
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah ditanya tentang puasa pada hari
‘Arafah, beliau bersabda: “Ia (Puasa ‘Arafah itu) menggugurkan dosa-dosa satu
tahun sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Muslim 1162)
Tidak makan dan tidak minum juga dilakukan Rasulullah Saw
sebelum melaksanakan sholat Idul Adha di lapangan. Ini adalah kebiasaan Nabi
Saw seperti yang tertuang dalam hadits berikut: Jika sebelum berangkat shalat
Idul Fitri Rasulullah SAW sarapan dahulu maka sebelum shalat Idul Adha, Rasul
tidak sarapan dan beliau baru makan sepulang melaksanakan shalat (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ahmad).
Jangan Berpuasa di hari
Tasyrik
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka
merayakan Idul Adha adalah: menggemakan takbir dan menyembelih hewan
kurban yang dilaksanankan setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10
Dzulhijjah yakni tanggal: 11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam
diharamkan berpuasa karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk
mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik).
Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat
Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka
berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari
raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari,
yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie,
Abu Dawud).
Pelaksanaan Puasa Arafah
Puasa
sebelum Idul Adha atau sering disebut
dengan puasa Arofah merupakan puasa sunat yang dianjurkan oleh Baginda Nabi
Saw. Selain mereka yang berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci,
umat muslim yang tak menunaikan rukun Islam ke Mekkah pun seyogyanya
melaksanakan anjuran Rasulullah tersebut.
Puasa sebelum Idul Adha disunatkan dilakukan pada tanggal 8 dan
9 Zulhijah, yaitu satu hari menjelang wukuf di Padang Arofah pada tanggal 10
Zulhijah. Mengenai puasa sunnah ini, Baginda Nabi pernah ditanya dan
diriwayatkan dalam hadis riwayat Muslim: Rasulullah suatu ketika pernah ditanya
mengenai keutamaan puasa Arofah, dan dijawab oleh Rasulullah bahwa puasa Arofah
bisa menghapuskan dosa-dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan dilalui (HR.
Muslim).
Keutamaan Bulan Zulhijah
Banyak sekali keterangan hadis yang menerangkan keutamaan
sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah, termasuk didalamya puasa sebelum Idul Adha. Diantaranya dijelaskan dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda, “tidak ada hari
dimana amal-amal shalih begitu dicintai oleh Allah dibandingkan hari-hari ini,
yakni: sepuluh hari istimewa di bulan Zulhijah”. Para sahabat pun bertanya,
“wahai Rasulullah, bagaimana dengan jihad fi sabilillah?”. Jawaban Rasulullah:
“tidak juga dengan jihad fi sabilillah, kecuali mereka yang berjihad dengan
jiwa dan hartanya sedangkan mereka tidak kembali dengan membawa apapun”.
Lebih lanjut, mengenai keutamaan sepuluh hari di bulan Zulhijah
ini dijelaskan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yakni
Rasulullah bersabda bahwasannya tidak ada hari-hari yang paling dicintai oleh
Allah Swt untuk memperbanyak berbuat kebajikan selain hari-hari di bulan
Zulhijah. Maka dianjurkan untuk memperbanyak kalimat-kalimat yang mengagungkan
Allah dengan takbir, tahlil, dan tahmid.
Amalan yang Dianjurkan
Selain melaksanakan puasa sebelum Idul Adha, ada berbagai
amalan yang dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan yang agung, Zulhijah
ini.
• Melakukan ibadah haji dan umrah ke Baitullah. Rasulullah Saw
bersabda bahwa dari umrah ke umrah bisa menghapuskan dosa-dosa yang dikerjakan
diantara waktu umrah tersebut, dan mengerjakan haji yang mabrur akan dibalas
dengan surga-Nya Allah.
• Mengenai disunahkannya
berpuasa, hadis qudsi memberikan legitimasinya sebagai berikut: bahwa puasa itu
adalah untuk Allah, dan Allah lah yang akan membalasnya dengan pahala yang
dikehendaki-Nya. Karena sungguh orang yang berpuasa tersebut telah meninggalkan
syahwat, makanan dan minuman hanya karena Alloh
• Memperbanyak mengumandangkan dzikir untuk senantiasa
mengaujgkan asma-Nya. Dalam surat al-Hajj:28, “…dan agar mereka menyebut nama
Allah pada hari-hari yang telah ditetukan…”.
• Melakukan taubatannasuha (bertaubat secara bersungguh-sungguh)
untuk memperoleh pengampunan dari Allah Swt.
• Memperbanyak berbuat amal shaleh dan kebaikan-kebaikan,
seperti: banyak membaca Al-Quran, rajin mendirikan shalat, bersedekah, dsb.
• Berkurban dengan tulus ikhlas di hari raya haji (Idul Qurban)
dan hari-hari tasyrik yakni pada tanggal 11,12, 13 Zulhijah.
Tidak makan sebelum shalat Idul Adha
Ada satu anjuran
sebelum penunaian shalat Idul Adha yaitu tidak makan sebelumnya. Karena
di hari tersebut kita kaum muslimin yang mampu disunnahkan untuk berqurban.
Oleh karenanya, anjuran tersebut diterapkan agar kita nantinya bisa menyantap
hasil qurban.
Dari ‘Abdullah bin
Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ
يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri
dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak
makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap
hasil qurbannya.” (HR. Ahmad 5: 352.Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata,
قال أحمد: والأضحى لا
يأكل فيه حتى يرجع إذا كان له ذبح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم أكل من ذبيحته،
وإذا لم يكن له ذبح لم يبال أن يأكل. اهـ.
“Imam Ahmad berkata:
“Saat Idul Adha dianjurkan tidak makan hingga kembali dan memakan hasil
sembelihan qurban. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dari
hasil sembelihan qurbannya. Jika seseorang tidak memiliki qurban (tidak
berqurban), maka tidak masalah jika ia makan terlebih dahulu sebelum shalat
‘ied.” (Al Mughni, 2: 228)
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata,
وإن أكل يوم الأضحى قبل
غدوه إلى المصلى فلا بأس، وإن لم يأكل حتى يأكل من أضحيته فحسن، ولا يحل صيامهما
أصلا
“Jika seseorang makan
pada hari Idul Adha sebelum berangkat shalat ‘ied di tanah lapang (musholla),
maka tidak mengapa. Jika ia tidak makan sampai ia makan dari hasil sembelihan
qurbannya, maka itu lebih baik. Tidak boleh berpuasa pada hari ‘ied (Idul
Fithri dan Idul Adha) sama sekali.” (Al Muhalla, 5: 89)
Hikmah Tidak makan sebelum shalat Idul Adha
Hikmah dianjurkan
makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa
hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan
untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera
disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:
602)
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata,
وَلِأَنَّ يَوْمَ
الْفِطْرِ يَوْمٌ حَرُمَ فِيهِ الصِّيَامُ عَقِيبَ وُجُوبِهِ ، فَاسْتُحِبَّ
تَعْجِيلُ الْفِطْرِ لِإِظْهَارِ الْمُبَادَرَةِ إلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى ،
وَامْتِثَالِ أَمْرِهِ فِي الْفِطْرِ عَلَى خِلَافِ الْعَادَةِ ، وَالْأَضْحَى
بِخِلَافِهِ .وَلِأَنَّ فِي الْأَضْحَى شُرِعَ الْأُضْحِيَّةُ وَالْأَكْلُ مِنْهَا
، فَاسْتُحِبَّ أَنْ يَكُونَ فِطْرُهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا .
“Idul Fithri adalah
hari diharamkannya berpuasa setelah sebulan penuh diwajibkan. Sehingga
dianjurkan untuk bersegera berbuka agar semangat melakukan ketaatan kepada
Allah Ta’ala dan perintah makan pada Idul Fithri (sebelum shalat ‘ied)
adalah untuk membedakan kebiasaannya berpuasa. Sedangkan untuk hari raya Idul
Adha berbeda. Karena pada hari Idul Adha disyari’atkan memakan dari hasil
qurban. Jadinya, kita dianjurkan tidak makan sebelum shalat ‘ied dan nantinya
menyantap hasil sembelihan tersebut.” (Al Mughni, 2: 228)
No comments:
Post a Comment