Translate

Sunday 10 March 2013

Sejarah Ludruk





SEJARAH LUDRUK

Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di
desa desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa.

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata .Wong Lorek.. Akibat variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok.

Periode Lerok Besud (1920 . 1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.
Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)
Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang.
Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa ini Ludruk yang terkenal adalah Marhaen milik Partai Komunis Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun 1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.
Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara sampai 16 kali , hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.
Sebagai Kesenian Rakyat
Karena keberadaannya yang lahir dari rahim kebudayaan rakyat jelata, Ludruk dikatakan lebih merakyat daripada seni tradisional (Jawa) lain, terutama yang berasal dari kalangan istana. Dengan bahasa daerah sederhana dan egaliter, sindiran dan kritik-kritik tajam, serta pemilihan cerita yang tidak terbatas, Ludruk memiliki kekuatan komunikasi yang sangat besar terhadap masyarakat. Kekuatan ini sejak lama disadari berbagai pihak, yang tentu saja bisa berarti positif maupun negatif bagi seni Ludruk itu sendiri.
Kita bisa menggolongkan Ludruk sebagai media seni daerah yang realis. Sebagai referensi atau bahan wacana tentang seni realisme, ada baiknya dikemukakan di sini tentang konsep George Lukacs –penganut dan pemikir seni-seni realis yang mengatakan bahwa persoalan utama dalam seni adalah relasi antara seni dan realitas sehari-hari. Seni adalah karya yang memiliki daya transformasi, yakni untuk mengubah kesadaran manusia. Seni akan menggerakkan orang kalau ia benar-benar indah. Keindahan baru akan tampak kalau seni secara jujur menampilkan kebenaran. Sementara kebenaran, dalam realitas sosial, adalah kenyataan adanya penderitaan, keterasingan, dan kecacatan manusia.
Apa yang dikemukakan George Lukacs ini barangkali tidak secara langsung bisa digunakan untuk mengamati seni Ludruk Jawa Timur. Akan tetapi, dengan menilik perjalanan sejarah atau perkembangan Ludruk pada tiap-tiap periode zaman, minimal kita bisa menarik satu benang merah bahwa teater rakyat ini memang berpihak pada realitas sosial yang menganga di tengah-tengah masyarakat, terutama kaum marjinal atau rakyat jelata. Di sini kita bisa melihat kontribusi atau peran yang pernah dimainkan Seni Ludruk.
Menjelang tahun 1940 sebelum kemerdekaan, ketika pemimpin Indonesia mulai membangkitkan semangat rakyat untuk menuntut kemerdekaan, Ludruk digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut dan ternyata cukup berhasil. Saat itulah mulai dikenal nama Cak Durasim, seorang tokoh pemain Ludruk yang cukup revolusioner. Gelagat kritis dan realistis yang ditunjukkan oleh Cak Durasim, membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian melarang Ludruk.
Tahun 1942. ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda, mereka justru melihat manfaat Ludruk untuk mempropagandakan semangat Asia Timur Raya, dan Cak Durasim beserta rombongannya dihidupkan lagi. Akan tetapi, dalam salah satu pertunjukannya, Durasim terlalu berani mengecam Jepang, sehingga ia ditahan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1944.
Ketika partai-partai politik bertumbuhan, Ludruk pun menjadi sasaran parpol karena mereka semua ingin menjadikan seni rakyat ini sebagai alat untuk menyebarkan keyakinan politik masing-masing. Karena itu, tumbuhlah perkumpulan-perkumpulan Ludruk yang bernaung di bawah partai-partai politik tertentu. Terlepas dari adanya fenomena intervensi politik terhadap wilayah seni, yang jelas Ludruk bisa memerankan diri sebagai media yang efektif dalam penyebaran informasi.
Sampai kini, meskipun jumlahnya relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, masih ada beberapa kelompok Ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang, Jombang, dan sekitarnya, yang tetap aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup Cak Kartolo Cs.
Kidungan merupakan salah satu unsur yang selalu ada dalam permainan seni Ludruk. Henri Supriyanto (1992:24) mengatakan bahwa kidungan adalah “…nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli.” Adapun yang dimaksud ‘jula-juli’, adalah jenis irama atau sistem nada dalam gamelan (musik tradisional) Jawa Timuran. Gambaran secara keseluruhan mengenai ragam atau macam-macam kidungan diuraikan oleh Nelwan Subuhadi (tokoh ludruk RRI Surabaya) sebagai berikut: “Dalam satu lakon dikenal empat kidungan, yaitu kidungan tari ngrema, kidungan lawak, kidungan bedayan, dan kidungan adegan”. (Subuhadi, 1989:6). Pembagian kidungan ke dalam empat golongan ini jika ditinjau dari pembabakan dalam pertunjukan ludruk. Artinya, tiap-tiap babak dalam ludruk selalu menampilkan atau menyelipkan nyanyian kidungan ini.
Pada masa Orde Baru (Kartolo Cs. digolongkan sebagai ludruk era Orde Baru, bukan era menjelang runtuhnya Orde Baru), kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan strategi kebudayaan nasional sangat mengkooptasi aktivitas kesenian. Ludruk tidak mendapatkan pembinaan dan perlakuan yang layak, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian lain juga mengalami ‘pemasungan’ kreativitas. Prosedur izin pementasan ludruk sangat sulit dan ‘harganya’ juga sangat mahal. Dalam konstalasi ketat seperti itu, kurang memungkinkan ‘beredarnya’ kidungan-kidungan yang sarat muatan kritik sosial.


No comments:

Post a Comment