Haji (Bahasa Arab: حج; transliterasi: Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
Jenis ibadah haji
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.
Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Rukun Haji Ada 6 :
1. Ihram Haji, yaitu niat mulai masuk ibadah Haji, sebagai berdasarkan Hadits : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan bemiat”.
Mengucapkan niat dan Talbiyah tidak wajib, tapi sunnah. Maka berkatalah di dalam hati dan lisannya
“Saya niat Haji dan Ihram Haji karena Allah swt, ku sambut panggilan-Mu …………” sampai akhimya.
2. Wuquf di Arafah, yaitu menghadiri walaupun hanya sejenak di sudut mana saja padang Arafah, sambil tidur atau lewat. Ini berdasar Hadiis riwayat At-Turmudziy : “Haji adalah Arafah.” Waktu pelaksanaan wuquf adalah di antara zawal matahari Arafah tanggal 9 DzulHijjah sampai terbit fajar hari Nahar (10 Dzul Hijjah).
Masjid Ibrahim dan Padang Namirah tidak masuk daerah wuquf Arafah.
Bagi kaum lelaki, Yang lebih afdlal adalah berkesungguhan memilih tempat wuquf Rasulullah saw, yaitu pada batu-batu besar yang telah sama-sama kita kenal (di lembah gunung Rahmah).
Tempat ini disebut Arafah, suatu pendapat menyebutkan karena di sinilah Adam dan Hawa berta’aruf.
Pendapat lain mengemukakan bukan begitu.
3. Thawaf Ifadlah, waktunya dimulai tengah malam hari Nahar (tgl. 10 Dzulhijjah);
Syarat-syarat Thawaf ada 6 :
a. Suci daripada hadats dan najis.
b. Tertutup aurat bagi yang kuasa menutupinya. Bila di tengah-tengah thawaf itu hilang (salah satu atau) dua syarat ini, maka menyempurnakan kembali dan boleh meneruskan thawafnya, sekalipun hal itu disengaja dan telah lama berselang.
c. Niat thawaf, untuk yang dikerjakan sebagai ibadah berdiri sendiri bukan termasuk rangkaian rukun Nusuk, sebagaimana kewajiban niat pada ibadah-ibadah yang lain; Kalau bukan sebagai berdiri sendiri, niat hukumnya sunnah.
d. Memulai thawaf dari Hajar Aswad dengan posisi belahan kiri badan bersejajaran dengan dia waktu berjalan (mengelilingi Ka’bah).
Cara mensejajarkannya adalah berdiri di samping Hajar Aswad pada titik lintasan garis lurus dengan rukun Yamaniy sekira seluruh bagian Hajar Aswad itu berada di sebelah kanannya, kemudian niat thawaf lalu bedalan (ke arah kanan) dengan menghadap Hajar Aswad sampai dia habis dari hadapan; Dalam posisi ini kemudian “hadap kanan” dan menjadilah Ka’bah berada di sebelah kirinya; Tidak boleh menghadap Ka’bah (dalam thawaf) kecuali waktu awal thawaf ini.
e. Membuat posisi sehingga Ka’bah berada di sebelah kirinya. Maka wajib seluruh badan termasuk tangan kirinya berada di luar Syadzirwan dan Hijir Isma’il -sebagai ittiba’ Rasul;
Jika tidak memakai cara-cara di atas, maka thawafnya tidak shah. Apabila sedang menghadap Ka’bah untuk misalnya berdo’a, maka hendaknya memperhatikan agar jangan sampai berjalan dahulu sekalipun sedikit sebelum kembali pada posisi Ka’bah di sebelah kirinya.
Wajib bagi orang yang mencium Hajar Aswad untuk membuat telapak kakinya tetap pada tempat semula sehingga berdiri tegak, karena di waktu menciumnya itu kepalanya masuk ke daerah bagian Ka’bah.
f. Thawaf dilakukan pada 7 kali putaran secara yakin, sekalipun pada waktu makruh; Kalau kurang walaupun hanya sedikit, maka thawafnya belum mencukupi.
4. Sa’i, yaitu lari-lari kecil dari Shafa sampai ke Marwah berputar 7 kali secara yakin.
Apabila perputarannya kurang dari 7 kali, maka sa’i belum cukup Dan bila meragukan hitungan bilangan sebelum selesai, maka mempedomani yang lebih sedikit, karena inilah yang diyakini kebenarannya.
Untuk sa’i, wajib memulai hitungan putaran pertama kalinya dari Shafa dan berakhir di Marwah, sebagai ittiba’ Rasulullah saw. Jikalau memulai dari Marwah, maka perjalanannya sampai Shafa tidak terhitung, dan barulah sekembalinya dari Shafa ke Marwah bisa dihitung satu kali, dan dari Marwah ke Shafa putaran yang ke duanya.
5. Memotong rambut kepala, baik mencukur sampai pendek (habis) maupun hanya memotong sedikit, karena berada di sinilah letak Tahallul.
Paling tidak, cukuplah melakukannya pada 3 helai rambut; Tentang Rasulullah saw mencukur seluruh rambut kepala beliau, adalah untuk menerangkan yang lebih afdlal. Lain halnya menurut orang yang memeganginya sebagai dasar kewajiban mencukur seluruh rambut kepala-;
Bagi kaum wanita memotong sebagian adalah lebih utama daripada mencukurnya sampai pendek.
Kemudian memasuki Makkah setelah melempar Jumrah Aqabah dan potong rambut, lalu melakukan thawaf rukun (thawaf ifadlah), kemudian sa’i jika belum, dilakukan setelah thawaf qudum sebagaimana yang afdlal itu.
Potong rambut, thawaf dan sa’i adalah tidak ada batas akhir waktunya; Namun makruh mengakhirkannya sampai lewat tanggal 10 Dzul Hijjah, dan lebih makruh lagi sampai setelah hari Tasyriq (11 – 13 DzulHijjah), dan lebih-lebih setelah ke luar dari Makkah.
6. Tertib, yaitu ihram didahulukan daripada rukun-rukun yang lain, wukuf daripada thawaf ifadlah dan memotong rambut; dan thawaf ifadlah daripada sa’i, jika belum dilakukan setelah thawaf qudum;
Dasarnya sebagai ittiba’ Rasulullah saw.
Rukun-rukun tersebut tidak bisa diganti dengan Dam (denda); Enam rukun Haji di atas, selain wuquf di Arafah, adalah juga rukun Umrah, karena pencakupan pada dalil-dalilnya. Dan jelas, potong rambut rukun Umrah wajib diakhirkan dari pada sa’i; serta wajib tertib untuk semua rukun-rukun Umrah.
Wajib Haji ada 5
Wajib yang dimaksudkan di sini adalah suatu perbuatan yang bila tertinggal, maka wajib membayar fidyah (sedang Haji-nya tetap syah).
1. lhram dari Miqat (batas tempat mulai Ihram). Bagi penduduk Makkah, miqat Hajinya dari tempatnya sendiri;
Miqat Haji dan Umrah bagi pendatang dari arah Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dinamakan Bi’ru Aliy. Dari Syam, Mesir dan daerah-daerah Maghrib (daerah sebelah Barat) adalah di Juhfah; Dari Tihamatul Yaman adalah Yalamlam dan dari Hijaz adalah Qamu; Dari arah daerah-daerah Timur, miqatnya di Dzati irqin.
Miqat Umrah bagi orang yang ada di tanah Haram adalah dari daerah Halal; Tempat yang paling afdlal ialah Ji’ranah, kemudian Tan’im barulah Hudaibiyah.
Miqat untuk para pendatang yang tidak melewati jalanan miqat-miqat di atas, adalah dari tempat-tempat yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut bila terdapat pesejajarannya di darat maupun di laut; Kalau tidak terdapat, maka dari jarak 2 Marhalah dari Makkah.
Maka pendatang lewat laut dari arah Yaman, miqatnya dari Syi’bil Muharram yang bersejajaran dengan Yalamlam; Ia tidak boleh menunda Ihram hingga masuk Jeddah; Lain halnya menurut fatwa Guru kita yang memperbolehkan penundaan tersebut, dengan alasan bahwa jarak Jeddah ke Makkah sama dengan yalamlam sampai Makkah.
Apabila baru mulai Ihram setelah lewat miqatnya sekalipun karena lupa atau tidak mengetahui, maka wajib membayar Dam selama tidak mengulanginya kembali dari miqat yang bersangkutan sebelum tersela-selai dengan Nusuk sekalipun berupa Thawaf eudum. Dan berdosa bila hal itu dilakukan oleh selain orang lupa atau tidak mengetahui.
2. Bermalam hari di Muzdalifah sekalipun hanya sejenak, waktunya dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzul Hijjah.
3. Bermalam hari di Mina pada lebih separoh malam-malam Tasyriq; Memang, jika telah berangkat (ke Makkah) sebelum tenggelam matahari tanggal 12 Dzulhijjah, maka telah cukup dan gugurlah kewajiban bermalam hari di Mina tanggal 13 nya serta melontar Jumrah di siang harinya. Hanya sanya kewajiban bermalam di Mina tersebut adalah bagi selain para penggembala dan para petugas air minum.-
4. Melempar Jumrah Aqadah 7 kali setelah habis tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, dan juga melontar 3 Jumrah masing-masing 7 kali setelah zawal di setiap hari Tasyriq dengan tertib di antara 3 Jumrah tersebut (Jumrah Ula lalu Jumrah Wustha lalu Aqabah). Pelontaran tersebut dilakukan memakai apa saja yang disebut batu, sekalipun batu akik atau permata balur.
Apabila pada suatu hari tidak me lakukan pelontaran Jumrah (sedangkan belum berangkat ke Makkah), maka wajib menambalnya pada hari-hari Tasyriq berikutnya; Kalau tidak, maka wajib membayar Dam sebab telah meninggalkan melontar 3 Jamrah atau bahkan lebih.
5. Thawaf Wada’ bagi selain orang haidl dan orang Makkah yang tidak akan ke luar Makkah seusai Hajinya. Ini adalah thawaf sebagai ucapan selamat tinggal, karena akan meninggalkan Makkah. Di dalam kitab at Taqrib karya imam Abu Syuja’ Thawaf Wada’ ini dimasukkan ke dalam sunnah haji, namun di dalam syarahnya (judul terjemah: Fikih Islam Lengkap, Dr. Musthafa D Al-Bugha) disebutkan bahwa menurut pendapat yang paling jelas, hukum Thawaf Wada’ adalah wajib haji. Di sini kitab Fathul Mu’in memasukkannya sebagai wajib haji.
6. Meninggalkan larangan haji. Larangan-larangan haji disebutkan di bagian bawah.
Kewajiban-kewajiban Haji ini bisa ditambal dengan Dam; Kewajiban ini disebut juga dengan Sunnah Ab’adl.
Sunnah-sunnah Haji :
Sunnah melakukan Haji Ifrad.
Haji dan Umrah bisa ditunaikan dengan tiga cara : Ifrad, yaitu Haji terlebih dahulu dan setelah sempurna baru Umrah; Tamattu’, yaitu Umrah dahulu dan setelah sempurna baru Haji; Qiran, yaitu Ihram sekaligus untuk Haji dan Umrah.
Yang paling afdlal adalah Haji Ifrad jika Umrahnya dilakukan sebelum musim Haji berikutnya, kemudian sistim Tamattu’;
Bagi yang melakukan Tamattu’ dan Qiran terkena kewajiban membayar Dam, jika bukan penduduk Makkah serta tempatnya kurang dari jarak 2 Marhalah dari sana.
Mandi atau Tayammum-(jika tak bisa mandi)-untuk ihram dan juga untuk memasuki Makkah, sekalipun belum mulai ihram, di Dzi Thuwa;
Sunnah bermalam hari di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Sunnah mandi wuquf Arafah pada sore harinya, mandi wuquf Muzdalifah dan mandi melempar
Jumrah pada setiap hari Tasyriq.
Sunnah wuquf dalam waktu yang mencakup siang dan malam hari. Kalau tidak bisa, maka disunnahkan memberikan Dam Tamattu’.
Sunnah melakukan wuquf di Jama’, yaitu yang sekarang dinamakan dengan Masy’aril Haram; Ialah bukit di tepi daerah Muzdalifah; Maka di waktu wuquf ini hendaklah berdzikir dan berdo’a dengan menghadap Qiblat hingga malam hampir terang kembali, sebagai ittiba’ Rasulullah.
Sunnah memakai harum-haruman pada badan dan pakaian –sekalipun memakai benda padat pengharum yang diiakukan menjelang ihram setelah mandi sunnahnya; Dan tidak mengapalah jika harum-haruman tersebut masih ada hingga selesai ihram, atau mengikuti keringat mengalir.
Sunnah membaca Talbiyah, yaitu “Labbaika ……… dst.” (Yaa Allah, benar-benar kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya pujian, kenikmatan dan kerajaan adalah bagi-Mu jua tiada penyekutu bagi-Mu); Makna “ku sambut panggilan-Mu” adalah kami bersedia taat kepada-Mu.
Sunnah banyak-banyak membaca Talbiyah; Shalawat Nabi, mohon surga dan berlindung dari neraka setiap habis mengulangi Talbiyah 3 kali.
Kesunnahan Talbiyah berjalan terus sampai waktu melontar Jumrah Aqabah, tapi tidak sunnah dibaca sewaktu thawaf qudum dan sa’i yang dilakukan sesudahnya karena telah ada dzikir-dzikir khusus yang dibaca di sini.
Sunnah mengawali thawafnya dengan menjamah Hajar Aswad memakai tangan, menjamahnya setiap kali putaran terlebih-lebih pada putaran gasal, mencium Hajar Aswad dan meletakkan kening padanya.
Ketika thawaf, sunnah menjamah rukun Yamaniy memakai tangan lalu tangan itu diciumnya.
Sunnah bagi kaum lelaki pada tiga putaran yang pertama dalam thawaf yang dilakukan sebelum sa’i, berjalan ramal yaitu mempercepat dan memperpendek langkah-langkahnya; Dan 4 putaran berikutnya sunnah berjalan seperti biasanya; sebagai ittiba’ Rasulullah saw.
Sunnah bagi kaum lelaki mengambil tempat thawaf yang lebih mendekati Ka’bah, selama tidak mengganggu orang lain atau terasa sulit lantaran berjejalan manusia; Apa bila bersilangan antara mendekati Ka’bah dengan berjalan ramal tapi tidak mendekatinya, maka dilakukan yang pertama (mendekati Ka’bah), sebab sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri adalah lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.
Sunnah pada putaran-putaran thawaf dan sa’i yang dilakukan dengan ramal (lari-lari kecil) bagi kaum lelaki memakai selendangnya dengan cara bagian tengah diletakkan di bawah pundak kanan dan dua ujungnya di atas pundak kiri, sebagai ittiba’ Rasul.
Sunnah bagi lelaki maupun wanita yang masuk ke dalam Masjidil Haram untuk terlebih dahulu melakukan thawaf, sebagai ittiba’ Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim; Kecuali bila berbepatan dengan jama’ah shalat fardlu atau khawatir kehabisan waktu shalat fardlu atau shalat Rawatib Muakkad, maka supaya mendahulukan shalat-shalat tersebut bukan thawafnya.
Sunnah mengerjakan shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang Maqam Mustajab, kemudian pada Hijir Isma’il.
Sunnah Thawaf Qudum, karena berlaku sebagai penghormatan terhadap Baitullah; Hanya sanya sunnah dilakukan oleh orang Haji atau Qiran yang datang ke Makkah sebelum menunaikan wuquf; Kesunnahannya tidak hilang lantaran telah duduk dalam masjid atau diakhirkan pelaksanaannya; Tapi kesunnahan hilang lantaran telah wuquf di Arafah.
Untuk Sa’i, sunnah bagi kaum lelaki mendaki ke atas bukit Shafa setinggi orang berdiri; Berjalan biasa pada batas dua tepi tempat sa’i dan lari-lari kecil di tengahnya, sebagaimana pada tempat yang telah sama-sama kita kenal.
Sunnah membaca dzikir dan do’a-do’a tertentu yang dibaca pada waktu dan tempat tertentu pula; Do’a dan dzikir ini telah tersusun secukupnya dalam karangan As-Suyuthiy, Wadhoifil Yaumi Wai Lailati, silahkan dicari.
Larangan-larangan Haji
Diharamkan bagi lelaki dan wanita sedang ihram beberapa hal :
Persetubuhan, berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 197 “. . maka tidak boleh melakukan rafats . . . “, kata “rafats” di sini ditafsirkan dengan persetubuhan; Lantaran melanggar rafats ini, maka Haji dan Umrah menjadi rusak (batal).
Haram mencium dan persentuhan sesama kulit dengan bersyahwat. Haram melakukan onani dengan tangan; Lain halnya inzal yang disebabkan oleh pandangan mata atau lamunan.
Haram aqad nikah, sebagai berdasarkan Hadits riwayat Muslim “Orang tengah berihram tidak boleh menikah atau menikahkan.
Haram memakai harum-haruman pada badan atau pakaian dengan semisal minyak misik atau ambar atau kapur harum orang hidup atau mati, bunga atau air mawar, walaupun hanya dengan mengikatkan misik di ujung pakaian atau meletakkannya di dalam saku apabila baunya hanya lemah, misalnya bunga Kadzi atau buah Inai, Jikalau terkena air baunya menjadi semerbak maka haram; Kalau tidak, maka tidak diharamkan.
Haram mengenakan minyak rambut kepala atau jenggot, sekali pun minyaknya tidak harum seperti misalnya minyak Zaitun atau minyak Samin.
Haram menanggalkan rambut kepala ataujenggot ataubulu badan sekalipun cuma satu helai; Memang, jika diperlukan potong rambut lantaran banyak kutunya atau luka-luka, maka tidak diharamkan, dan baginya terkena kewajiban fidyah.
Apabila ada rambut yang tumbuh pada mata atau menutupi mata lalu membuangnya, maka tidak haram dan tidak wajib fidyah.
Haram memotong kuku tangan atau kaki, walaupun hanya sekuku hitam ; Tapi diperbolehkan memotong kukunya yang pecah, jika menyakitkan walaupun tidak seberapa berat.
Haram khusus bagi lelaki –tidak terrnasuk wanita- tanpa ada udzur menutuf sebagian kepalanya memakai sesuatu yang menurut penilaian Urf bisa dianggap sebagai tutup, baik itu berjahit ataupun tidak, misalnya kopyah atau sesobek kain.
Adapun menutupnya memakai sesuatu yang tidak bisa dinilai sebagai tutup, maka tidak haram; seperti misalnya benang kecil, berbantal dengan semacam serban atau meletakkan tangan di atas kepalanya tanpa ada maksud menutupi.
Lain halnya bila meletakkan tangan dengan maksud menutup kepalanya, hukum keharamannya ada dipertentangkan.
Tidak Haram, membawa semacam zinbil yang tidak dimaksud untuk menutup kepala, berteduh di suatu tempat sekalipun teduhannya menempel pada kepalanya.
Haram bagi kaum lekaki memakai di bagian manapun badannya pakaian berjahitkan benang semisal baju kemeja atau toga, pakaian berjahitkan benang tenun atau pakaian yang diikat, jika tanpa ada udzur.
Maka baginya lantaran udzur melintang, misalnya udara panas atau dingin yang sampai tidak kuat menderitanya walaupun belum boleh bertayamum karenanya, diperbolehkan menutup kepalanya dengan kewajiban Fidyah, sebagai pengqiyasan kewajiban fidyah pada potong rambut yang di langgar sebab udzur melintang.
Tidak haram memakai pakaian berjahit jika tidak ada yang lain dan tidak bisa memperolehnya sekalipun dengan semacam meminjam kepada orang lain, maka rnenutup aurat memakai pakaian berjahit diperbolehkan tanpa terkena kewajiban membayar fidyah;
Lain halnya jika mendapat yang tidak berjahit dari Hibah (maka tidak haram memakai yang berjahit), karena keagungan nilai anugerah-nya. Memakai pakaian berjahit diseluruh badannya (tidak sekedar menutup aurat) karena diperlukan lantaran kepanasan atau kedinginan, adalah diperbolehkan dengan kewajiban fidyah.
Diperbolehkan berselendang atau berselimut dengan baju kemeja atau toga, membuhul atau mengikat sarung dengan benang agar terpakai kokoh; Tidak boleh memasang krakh baju toga pada gulunya sekalipun lengannya tidak dipasang (lengan baju tidak dipakai semestinya.)
Haram Bagi Kaum Wanita -tidak termasuk lelaki- menutupi bagian wajahnya memakai apa saja yang dianggap sebagai tutup.
.
Fidyah untuk satu pelanggaran atas larangan di waktu Ihram selain persetubuhan, adalah menyembelih seekor kambing kurban, yaitu domba berumur satu tahun atau kambing biasa umur 2 tahun.
Atau bersedekah dengan 3 Sha’ makanan kepada 6 orang fakir miskin daerah Haram, masing-masing 1/2 Sha’.
Atau berpuasa tiga hari.
Bagi pelanggar larangan-larangan di atas, boleh memilih salah satu dari tiga macam fidyah tersebut.
.
Bila melanggar larangan-larangan tersebut karena lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka tetap wajib fidyah bila pelanggaran berwujud pengrusakan, seperti misalnya memotong rambut, kuku, atau membunuh binatang buruan;
Bila pelanggaran berwujud Tamattu’ (=keni’matan), misalnya memakai pakaian berjahit atau harum-haruman, maka tidak terwajibkan membayar fidyah.
Dalam menanggalkan 3 helai rambut atau 3 potong kuku dalam satu waktu serta tempat yang sama menurut Urf, dalah wajib fidyah penuh; Sedang bila hanya satu helai/potong, maka fidyah satu mud, dan kalau dua maka dua mud.
Dam yang harus dipenuhi sebab meninggalkan kewajiban Haji misalnya Ihram dari miqat, bermalam di Muzdalifah atau Mina, melontar Jumrah dan Thawaf Wada’ adalah sebagaimana Dam pengamal sistim Haji Tamatlu’ atau Qiran, yaitu menyembelih seekor kambing Qurban di tanah Haram.
Bagi yang tidak mampu menyembelihnya, sekalipun karena hartanya sedang tiada di tangannya, sekalipun ada yang sanggup memberinya hutang atau mendapat kambing Dam dengan harga melebihi harga sepatutnya, maka berpuasa 3 hari seketika setelah meninggalkan kewajiban tersebut, dan ditunaikan setelah Ihram sebelum tanggal 10 Dzul Hijjah sekalipun dirinya sebagai musafir.
Maka tidak boleh menunda pelaksanaan tersebut, karena kemudian menjadi Qadla’, juga tidak boleh dilakukan sebelum Ihram Haji karena berdasarkan ayat.
Selain itu, wajib pula berpuasa 7 hari lagi selelah sampai di kampung halamannya. Puasa-puasa tersebut disunahkan menunaikan dengan sambung menyambung.
Allah berfirman surat Al-Baqarah ayat 196 “….. maka barang siapa tidak mendapatkan kambing kurban, wajib berpuasa 3 hari dalam masa Haji dan 7 hari lagi setelah kalian pulang kembali”.
Wajib bagi orang yang merusakkan Nusuk sekalipun Nusuk sunnahnya dengan bersetubuh, membayar Dam seekor badanah qurban.
Badanah disini adalah dimaksudkan dengan onta jantan ataupun betina.
Kalau tidak mampu, maka seekor lembu; Kalau juga tidak mampu, maka 7 ekor kambing; Kalau tidak maka bershadaqah makanan sejumlah harga seekor Badanah; Kalau tidak mampu, maka berpuasa
satu hari untuk setiap satu mud dalam jumlah berapa mud makanan tersebut.
Sedang bagi pihak wanitanya, ia berdosa tapi tidak terkena kewajiban fidyah seperti itu.
Dari ucapanku tadi “Yang merusakkan Nusuk”, bisa diketahui bahwa Nusuk menjadi batal sebab persetubuhan; Dalam pada itu, ia masih terkena kewajiban melanjutkan perbuatan Nusuknya dengan tata cara sebagaimana yang tidak batal.
Selain Dam tersebut, juga terkena kewajiban mengqadlai dengan seketika (kalau Haji, berarti tahun depan) sekalipun Nusuk Sunnah; Sebab dengan telah mulainya menunaikan itu membuat waktu kewajiban yang semula luas menjadi sempit dan yang semula, sunnah menjadi fardlu -maksudnya wajib ditunaikan seperti fardlu-, berbeda halnya dengan ibadah-ibadah sunnah selainnya.
Gambar
No comments:
Post a Comment